Ketika lahir anak manusia, melesatnya usia bak anak panah dari busurnya. Melesat terus tanpa dapat dibendung menuju ke satu titik, kematian.
Kematian anak manusia adalah sebuah kepastian. Sebab manusia adalah makhluk yang terikat pada ketentuan Sang Khalik. Ada siang, ada malam. Ada hidup menuju mati. Manusia bukanlah Dia yang Hayyun lagi Qoyyum. Kematian adalah hal yang wajar, lumrah sebagaimana kelahiran. Mengapa kematian mesti diiringi dengan kehilangan?
Itulah manusia, sense of belonging terhadap sesuatu yang dianggap dimilikinya, membuatnya terusik ketika sesuatu itu pergi. Air mata, isak tangis, dan kesedihan adalah pengiring sebuah kematian.
Tapi, ada lho manusia yang begitu bersahaja menerima kehilangan. Ummu Sulaiman misalnya. “Bagaimana pendapat Kanda tentang suatu titipan yang kemudian diambil pemiliknya?” katanya ketika mengabarkan kematian anaknya tercintanya kepada suaminya.
Memang tak semua manusia bisa setegar Ummu Sulaiman. Hanya Dia yang tahu. Makanya, untuk sebuah kematian, sekadar isak tangis ataupun sekadar penumpah rasa sedih boleh-boleh saja. Itupun hanya sekadarnya saja, tak boleh lebih.
Kematian seseorang yang kita cintai serasa sebuah hentakan di hati. Ada kalanya rasa sedih berubah menjadi penyesalan. Terlebih bila kita ingat perlakuan kita yang kurang baik, kurang ramah, dan kurang simpatik kepada almarhum. Mengapa tidak segera menjenguknya ketika dia sakit? Mengapa sering menyakiti hatinya? Mengapa dan mengapa, serta sederet mengapa lainnya muncul sebagai wujud penyesalan.
Bagaimanakah agar kita menghadapi sebuah kematian, baik kematian orang-orang yang kita cintai, ataupun diri kita sendiri kelak? Seorang bijak bestari menyarankan, ”Banyaklah memberi.” Memberi apapun yang kita miliki. Harta, waktu, perhatian, kasih sayang, tenaga, pikiran, dan sebagainya kepada siapa saja. Dengan banyak memberi, kita tak takut menghadapi kematian. Karena dengan banyak memberi, sebenarnya kita telah mengambil banyak.
Serba-serbi | Renungan: USIA KITA
loading...
loading...
loading...