Selamat datang. Selamat belajar, selamat berprestasi. Semoga sukses

Galeri Video

Powered by: Youtube

Kliping Pendidikan

Kliping Berita PNS

Otomotif

wawasan Islam

Kesehatan

loading...
loading...

Sumber Foto: panoramio.com
Bulan September, mungkin menjadi bulan yang tidak pernah dilupakan oleh pelaku sejarah di jaman orde lama, yakni tahun 1965. Di bulan itu, terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan 7 jenderal yang dikenal peristiwa G 30 S PKI. Salah satu saksi hidup yang masih merasakan kepedihan bulan itu di antaranya putri Jenderal Ahmad Yani, Amelia A Yani.

DILIANTO, Jakarta

AMELIA, begitulah panggilannya. Wanita yang kini menginjak usia 62 tahun itu masih segar ingatannya untuk menceritakan tragedi yang menimpa keluarganya di tahun 1965. Saat itu Amelia berusia 16 tahun dan masih duduk di bangku SMA di Santa Ursula, Jakarta.
Rambutnya yang belum memutih, namun terlihat beberapa keriputan di bawah kelopak matanya, Amelia mulai menceritakan kepiluan almarhum Ibu kandungnya, Yayu Ruliah Sutodiwiryo dan ketujuh saudara kandungnya saat perisitiwa itu.
“Siang itu, Kamis 30 September 1965, udara Kota Jakarta sangat panas. Aku dan beberapa saudaraku sedang menunggu Bapak pulang dari kantornya, di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di Jalan Merdeka Utara 2. ketika itu Bapak menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) di masa pemerintahan Presiden Soekarno,” tutur Amelia mulai menceritakan kesaksiannya itu.
Di hari itu, Amelia mengaku menjadi momen yang sangat berarti antara hubungan anak terhadap bapaknya. Pasalnya, selama hidupnya, ia tidak pernah merasakan sosok bapak yang tegas dalam mendidik disiplin belajar terutama untuk tidak membolos.
“Kali ini sungguh beda. Pada hari itu, bapak mengatakan bahwa kami boleh membolos nanti tanggal 5 Oktober pas Hari Angkatan Bersenjata yang selalu dimeriahkan di Istana Negara. Kabeh melu Bapak nang istana, ndelok arak-arakan. Ono nyanyi. Pokoke ora usah sekolah, mbolos kabeh,” ucapnya sambil menirukan ucapan Bapaknya, Ahmad Yani.
Kata-kata bapaknya itu tidak pernah dilupakan seumur hidupnya. Pasalnya, ucapan itu, ternyata menjadi ucapan terakhir yang diucapkan Jenderal Ahmad Yani saat menyenangkan hati anak-anaknya yang boleh memobolos.
Usai bercanda mesra dengan anak-anaknya, Ahmad Yani, sibuk menerima kunjungan berbagai tamu, di antaranya kunjungan Jenderal Basuki Rahmat dan beberapa tamu lain, yakni dari Akademi Militer Nasional (AMN).
Hingga jelang malam pada pukul 22.00, Ahmad Yani terbebas dari para tamu, dan ia dan seluruh anak-anaknya sudah bergegas pergi ke kamar tidur. Sedangkan ibunya, Yayu Ruliah, tidak sedang berada di rumah, dikarenakan sedang menyepi di rumah Dinas Menteri di Jalan Taman Suropati.
“Jelang satu jam berlalu, kami sekeluarga dikejutkan telepon misterius yang dua kali mempertanyakan di mana posisi bapaknya, Ahmad Yani. Tentu saja dengan polosnya kami menjawab bapak sedang tidur. Telepon terus berdering dengan orang berbeda yang juga menanyakan hal yang sama. Disinilah peristiwa mengerikan mulai terjadi,” ucap Amelia yang mencoba tegar menceritakan masa lalunya itu yang menjadi mimpi buruknya selama hidupnya.
Pagi itu, kisah Amelia Yani, sekitar pukul 04.30 dinihari Jumat Legi, 1 Oktober 1965, dari dalam kamar tidur, tiba-tiba saja keluarganya dikejutkan dengan suara tembakan secara gencar dan suara hentakan suara sepatu-sepatu lars tentara yang berlarian. Sebagai anak tentara yang sudah terbiasa dengan kehidupan militer, Amelia kecil tahu persis bunyi tembakan asli peluru betulan atau main-main. “Yang kami dengar memang bunyi tembakan peluru asli. Dan suasana menjadi hangar bingar,” katanya.
Amelia dan anggota keluarga lainnya pun langsung keluar dari kamar. Alangkah kagetnya, ternyata di ruang tengah rumah sudah banyak tentara dengan baret merah tua menyeret sesosok tubuh tanpa belas kasih. Yang diseret adalah kedua kakinya, tangan dan kepala dibiarkan terseret-seret di lantai, berlumuran darah. “Ternyata yang diseret adalah Bapak kami, Ahmad Yani,” pilu Amelia Yani yang mulai memerah matanya.
Amelia mengaku ingin memeluk tubuh bapaknya, namun pasukan itu melarang dan mengancam akan ikut menembak dirinya jika tidak masuk ke dalam kamar. “Karena takut, kami pun masuk ke dalam kamar kami. Sambil mengintip dari dalam kamar, kami melihat tubuh bapak kami dilempar ke dalam truk dan dibawa entah ke mana,” ujarnya.
Setelah bapaknya dibawa pergi, barulah Ia dan beberapa sanak famili termasuk pembantu rumah tangganya berhamburan ke ruang tengah tempat bapaknya diseret. Pintu kaca ruang makan dan kamar tidur bapaknya berserakan ditembus peluru. Segumpal darah merah segar dan hangat tertinggal di atas lantai ruang makan. “Saya lihat saat itu ada tujuh selongsong peluru yang juga bertebaran di lantai,” ucapnya yang sudah mulai sesegukan menceritakan kisah pilu itu.
Yang lebih menyedihkan dirinya adalah, saat ia melihat ibunya yang saat kejadian itu tidak sedang ada di rumah. Ibunya baru mengetahui kejadian itu pagi harinya harinya di saat ia pulang ke rumah sehabis menyepi. "Ada apa, pagi-pagi anak-anakku sudah pada bangun?" ujar Amelia menirukan ucapan ibunya. Mendengar cerita itu, ibunya terkaget dan menjeri-jerit hingga tak sadarkan diri.
"Beberapa jam kemudian ibu siuman dan alangkah kagetnya saya, ternyata Ibu mendatangi sisa darah bapaknya di lantai. Dan Ibu mengambil segumpal darah bapak lalu diusapkan di wajahnya, leher dan dadanya sambil meraung-raung merasakan pedihan hati,” kenang Amelia.
Akhirnya mayat bapaknya, Jenderal Ahmad Yani, baru ditemukan pada 4 Oktober ditanam secara keji oleh PKI di lubang buaya bersamaan dengan 6 jasad perwira tinggi TNI lainnya, diantaranya Tendean, Panjaitan, Soeprapto, Sutoyo, Haryono dan S Parman.
Dia pun mengaku bahwa kisah pilu keluarganya itu sudah banyak dituangkan di dalam cerita di film G 30 S PKI, yang semenjak munculnya era reformasi film tersebut mulai dihapuskan.
Dari cerita-cerita tersebut, Amelia pun berharap agar film G 30 S PKI dimunculkan kembali. Dia yakin di film itu tidak bermaksud untuk mengumbar jasa Jenderal Soeharto yang berhasil menuntas gerakan PKI. “Tapi itu film menunjukan bahwa di negeri ini tetap ada gerakan komunis yang setiap saat bisa berkembang dan bisa membuyarkan ketentraman negeri ini,” katanya.
Dan, bagi Amelia Yani, bangsa yang melupakan sejarah adalah bangsa yang tidak mengehargai jasa pahlawan. “Dan rasa cinta nasionalismenya pasti akan berkurang,” cetusnya menyindir dihilangkannya film tersebut.
Dan ia pun meyakini bahwa seluruh sanak famili tujuh pahlawan revolusi yang gugur di saat peristiwa G 30 S PKI itu sudah memaafkan para keluarga dari PKI yang sudah tobat. “Saat ini, saya pun bersahabat dengan anak-anaknya tokoh PKI, Aidit. Jadi, jika film itu dimunculkan bukan berarti kami memusuhi keluarga pelaku PKI,” katanya. ***

Sumber: Radarbanjarmasin.co.id


loading...
Bagikan artikel ini:
Suka artikel ini?
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

Top