loading...
loading...
Polemik seputar rencana rasionalisasi PNS melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) masih berlanjut. Sikap Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi yang tetap ngotot PHK satu juta PNS sebagai keharusan, tampaknya membuat gerah pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri).
Korpri, yang sejak awal merasa tidak diajak bicara Yuddy terkait kebijakan rasionalisasi, mendengar penjelasan langsung dari Presiden Joko Widodo, yang Selasa (7/6) lalu sudah menyatakan tidak akan ada PHK PNS.
Pengurus Pusat Korpri menghadap Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin (9/6) siang.
Ketua Umum Korpri Zudan Arif Fakhrullah mengatakan, dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi kembali menegaskan sikapnya bahwa rasionalisasi PNS dilakukan secara alamiah. Yakni melalui mekanisme negative growth, dimana jumlah PNS baru yang direkrut lebih sdikit dibanding yang pensiun.
“Bapak Presiden tadi mencontohkan, misalnya yang pensiun 100.000 PNS, maka pengangkatan baru cukup 40.000 atau tidak lebih dari 50 persennya. Jadi, ini yang disebut dengan negative growth, pertumbuhannya negatif. Sehingga secara alamiah PNS kita akan berkurang,” kata Zudan saat memberikan keterangan pers usai bertemu Presiden Jokowi.
Dijelaskan Zudan, kalau setiap tahun jumlah PNS berkurang karena pensiun alamiah itu 300.000, tapi CPNS yang direkrut hanya 60.000 atau 100.000 orang, maka dalam waktu 4-5 tahun ke depan jumlah anggaran negara akan berkurang cukup besar. “Sehingga efisiensi bisa dilakukan secara alamiah,” ujar birokrat bergelar profesor itu.
Karena itu, Zudan yang juga Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri itu mengimbau para PNS agar tidak galau, tetap tenang, dan bekerja seperti biasanya.
“Ini yang ditekankan oleh Bapak Presiden, sehingga semua PNS di seluruh Indonesia agar tetap tenang dan bekerja dengan baik karena yang dilakukan adalah negative growth,” ujar Zudan.
Dia menyebut, berdasar data dari Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), lima tahun ke depan jumlah PNS yang akan pensiun mencapai 700.000 orang. Sementara jumlah PNS saat ini mencapai sekitar 4,4 juta orang.
Mengenai jumlah ideal PNS yang dibutuhkan, Zudan menyebutkan, saat ini sedang dilakukan dilakukan pemetaan secara mendalam.
Namun Zudan mengingatkan, bahwa di dalam pelayanan publik bukan manusia saja yang harus dilayani oleh PNS. Dia menyebut luas wilayah, tingkat kesulitan geografis misalnya hutan yang harus dijaga atau sungai yang harus dijaga dan laut yang harus dijaga, yang kesemuanya itu memerlukan PNS.
“Nah saat ini pemerintah sedang melakukan penataan secara sangat serius barapa jumlah yang dibutuhkan itu,” terang Zudan.
Pria asal Sleman Jogjakarta itu juga menyampaikan bahwa Presiden Jokowi berharap 4,4 juta PNS dan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) itu mengubah pola pikir, dari pola pikir lama menuju pola pikir yang baru.
“Persaingan antar ASN sendiri maupun persaingan ASN dengan dunia luar, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sehingga di dalam semua pergerakan PNS itu harus ada unsur efisien, harus ada unsur kompetisi yang terus-menerus sehingga kualitasnya harus ditingkatkan secara terus menerus,” kata Zudan.
Empat Alasan Yuddy Ngotot PHK PNS
Sikap Yuddy ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menegaskan pengurangan jumlah PNS hanya akan dilakukan secara alamiah, yakni pensiun. Kemarin, dalam dua kali kesempatan Yuddy membeberkan niatnya itu. Pertama di kantornya, kedua dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR. Dia menyebut ada empat alasan yang mendasari keinginannya tersebut.
"Ada empat alasan utama kebijakan percepatan reformasi yaitu aspek yuridis, sosiologis, teknokratis, dan geostrategis," kata Menteri Yuddy dalam seminar Bakohumas di kantornya, Jakarta, kemarin (8/6).
Aspek yuridis, lanjut MenPAN-RB, sesuai amanat UU ASN kebijakan ASN harus berbasis sistem merit yakni berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja. Karena itu, untuk mewujudkan sosok ASN demikian dibutuhkan penataan yang holistik.
"Kami juga memiliki Roadmap Reformasi Birokrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan MenPAN-RB Nomor 11 Tahun 2015. Sasarannya adalah mewujudkan birokrasi yang bersih dan akuntabel, efektif dan efisien, serta birokrasi yang memiliki pelayanan publik yang berkualitas," ujarnya.
Kedua, aspek sosiologis. Realita di lapangan saat ini masih banyak keluhan dan pengaduan dari masyarakat atas berbagai layanan publik yang diberikan oleh aparatur negara. Ada yang mengeluh layanannya lamban, berbelit-belit, serta masih ada pungutan liar.
Tentu keadaan ini harus disikapi segera dengan melakukan percepatan penataan di setiap jenjang jabatan dengan prioritas pertama untuk PNS yang memangku Jabatan Fungsional Umum (JFU) yang notabene banyak bertugas di ujung tombak pelayanan.
Salah satu yang menjadi sorotan masyarakat adalah masih rendahnya kualitas pelayanan publik yang terkait dengan kemudahan berusaha. Peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) Tahun 2016 Indonesia pada peringkat ke-109 dari 189 negara.
"Kinerja pelayanan publik pada sektor ekonomi harus ditingkatkan agar kemudahan berusaha mengalami perbaikan yang signifikan, perlu langkah terobosan dalam penataan aparaturnya," ucapnya.
Ketiga, aspek teknokratis. Rata-rata belanja pegawai secara nasional (APBN dan APBD) mencapai 33,8 persen atau sebesar Rp 707 triliun lebih dari total belanja sebesar Rp 2.093 triliun lebih di APBN.
Bahkan belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota, saat ini rata-rata lebih besar dari belanja publik. Ada sekitar 244 kabupaten/kota yang belanja pegawainya di atas 50 persen APBD. Karena itu, untuk memperbaiki perimbangan belanja pemerintah, khususnya pemerintah daerah, agar memiliki ruang fiskal yang lebih besar untuk belanja publik, harus ada efisiensi belanja pegawai dan harus ada rasionalisasi pegawai.
Keempat, aspek geostrategis. “Sekarang kita sudah memasuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN, dimana kompetisi bukan hanya antar negara (globalisasi 1.0) dan antar sektor swasta (globalisasi 2.0), tetapi juga sudah antar individu warga negara (globalisasi 3.0). Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain kecuali meningkatkan daya saing bangsa kita," paparnya.
Disebutkan, jumlah PNS di Indonesia saat ini sekitar tiga persen dari jumlah penduduk. Pemerintah menilai angka tersebut masih terlalu tinggi, sehingga harus dipangkas.
"Rasio PNS di Indonesia idealnya 1,5 persen. Jumlah penduduk kita hanya 250 juta orang, jadi tidak perlu dilayani empat jutaan PNS," katanya.
Dia mengklaim, KemenPAN-RB telah melakukan perbandingan dengan negara-negara tentangga seperti Malaysia, Singapura, Tiongkok, dan lainnya. Bila jumlah PNS tidak dikurangi hingga ke angka 3,5 juta, dikhawatirkan negara akan mengalami kebangkrutan.
"Sebelum ketemu angka 3,5 juta, kami sudah melakukan hitung-hitung. Jumlah PNS yang kompetensinya kurang kan ada di jabatan fungsional umum. Nah jumlahnya itu sekitar 1,9 juta. Kalau diambil sejuta saja kan bisa mengurangi beban negara. Apa mau kita seperti Yunani yang mengalami kebangkrutan?" tandasnya.
Dia menambahkan, pengurangan pegawai hingga sejuta orang dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
"Kebijakan rasionalisasi ini bukan hanya pemikiran seorang menteri, tapi hasil kajian komprehensif oleh KemenPAN-RB, BKN, LAN, BPKP, tim QT, tim independen RB, Komite RB yang diketuai Wapres," terangnya.
Bagi Yuddy, sah-sah saja berbagai kalangan mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun harus ada argumen jelas agar tidak salah menanggapi masalah.
Disebutkannya, setiap pengadaan satu PNS membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Bila PNS yang dipekerjakan tidak kompeten, malas-malasan, suka bolos, sering bikin gaduh, akan merugikan negara. Saat ini belanja pegawai 33,3 persen dari APBN, dengan rasionalisasi target penurunanya di bawah 30 persen.
"Yang saya tegaskan di sini, rasionalisasi bukan sekadar cari popularitas. Bukan juga mencari sensasi atau hanya pikiran sesaat seorang menteri. Ini pemikiran besar dari semua stakeholder untuk menciptakan ASN berkualitas dan smart," tandasnya.
Saat rapat dengan Komisi II DPR, Yuddy kembali membeberkan argumennya.
"Sekarang PNS 4,5 juta, idealnya jadi 3,5 juta. Kalau yang pensiun 500 ribu orang, tinggal 4 juta. Masih dibutuhkan pengurangan 500 ribu lagi. 330 ribu yang kita tawarkan pensiun dini," kata Yuddy dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II Lukman Edy.
Namun, Menteri dari Partai Hanura itu menyebutkan bahwa semua skema masih dalam kajian selektif yang sedang dilakukan jajarannya. Bahkan, rencana ini menurutnya juga belum dibahas dalam rapat kabinet dengan Presiden Joko Widodo.
Dia mengaku telah menyiapkan laporan skema rasionalisasi progresif (pensiun dini) PNS kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Yuddy, laporan tersebut berisi paparan lengkap tentang langkah rasionalisasi progresif.
"Memang presiden inginkan rasionalisasi dilakukan secara alami atau moderat. Tapi dari KemenPAN-RB punya kajian sendiri berupa rasionalisasi progresif yaitu pensiun dini. Dengan cara ini, proses pemetaan PNS akan berlangsung cepat dan dalam waktu tiga tahun sudah bisa diperoleh angka PNS 3,5 juta orang," cetus Yuddy.
Dia menyebutkan, rasionalisasi progresif yang terbaik dilakukan agar PNS tidak berkualitas dan berkinerja buruk bisa dipensiunkan dini. Dengan pensiun dini, beban belanja pegawai pun akan cepat berkurang.
"Apa rela masyarakat bayar pajak dan pajaknya dipakai untuk membayar PNS yang malas-malasan. Saya sudah lihat sendiri di lebih dari 100 daerah yang PNS-nya tidak maksimal kinerjanya," tegasnya.
Bukannya mendapat dukungan dari Komisi II DPR. Dalam kesempatan tersebut, Yuddy malah dikecam. Kebijakannya dinilai hanya bikin galau PNS.
"Sesuatu yang masih mentah jangan dibuka ke media. Ini menimbulkan kontroversi dan mengganggu masyarakat," kata Amran, anggota Komisi II dari Fraksi PAN.
Fandi Utomo dari Fraksi Demokrat juga menyebut Yuddy tidak konsisten dalam menangani masalah kepegawain. Dikatakan, Yuddy dulu pernah berjanji akan mengisi kuota PNS yang pensiun dari honorer K2.
"Sekarang malah bicara soal rasionalisasi. Ini instruksi presiden yang berubah-ubah atau Pak Menteri yang berubah?" ucapnya dengan nada tinggi.
jpnn.com
loading...